Air bersih adalah salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik
dan biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi atau dalam melakukan
aktivitas mereka sehari-hari termasuk diantaranya adalah sanitasi.
a. Sungai
Rata-rata
lebih dari 40.000 kilometer kubik air segar diperoleh dari sungai-sungai di
dunia. Ketersediaan ini (sepadan dengan lebih dari 7.000 meter kubik untuk
setiap orang) sepintas terlihat cukup untuk menjamin persediaan yang cukup bagi
setiap penduduk, tetapi kenyataannya air tersebut seringkali tersedia di
tempat-tempat yang tidak tepat. Sebagai contoh air bersih di lembah sungai
Amazon walupun ketersediaannya cukup, lokasinya membuat sumber air ini tidak ekonomis
untuk mengekspor air ke tempat-tempat yang memerlukan.
b. Curah hujan
Dalam
pemanfaatan hujan sebagai sumber dari air bersih, individu perorangan/
berkelompok/ pemerintah biasanya membangun bendungan dan tandon air yang mahal
untuk menyimpan air bersih di saat bulan-bulan musim kering dan untuk menekan
kerusakan musibah banjir.
c. Penurunan Tanah
Akibat tingginya harga air
bersih serta cakupan layanan dan kualitas layanan PAM yang kurang, masyarakat
beralih menggunakan air tanah. Sayangnya, untuk mendapat air tanah, masyarakat
mengebor tanah sedalam-dalamnya sehingga permukaan air tanah turun.
Padahal selama ini pengeksploitasian air tanah dalam telah dilakukan terutama oleh industri, perhotelan, dan gedung-gedung perkantoran. Mereka menggunakan air tanah dalam jumlah sangat besar, menyebabkan penurunan permukaan tanah yang parah.
Penurunan permukaan tanah ini kemudian menambah potensi daerah genangan air, penurunan elevasi tanggul di daerah pantai, dan penurunan elevasi sistem drainase (makro dan mikro) sehingga mengurangi fungsi drainase kota serta penurunan fondasi bangunan dan jalan serta jembatan. Semua ini berujung pada satu hal, yaitu bencana banjir.
Berdasarkan parameter perencanaan yang dibuat BR PAM DKI, pada 2015, batas maksimum pengambilan air tanah dalam adalah 20 persen. Tapi hal tersebut tentunya harus diiringi dengan cakupan layanan PAM yang mencapai 80 persen.
Padahal selama ini pengeksploitasian air tanah dalam telah dilakukan terutama oleh industri, perhotelan, dan gedung-gedung perkantoran. Mereka menggunakan air tanah dalam jumlah sangat besar, menyebabkan penurunan permukaan tanah yang parah.
Penurunan permukaan tanah ini kemudian menambah potensi daerah genangan air, penurunan elevasi tanggul di daerah pantai, dan penurunan elevasi sistem drainase (makro dan mikro) sehingga mengurangi fungsi drainase kota serta penurunan fondasi bangunan dan jalan serta jembatan. Semua ini berujung pada satu hal, yaitu bencana banjir.
Berdasarkan parameter perencanaan yang dibuat BR PAM DKI, pada 2015, batas maksimum pengambilan air tanah dalam adalah 20 persen. Tapi hal tersebut tentunya harus diiringi dengan cakupan layanan PAM yang mencapai 80 persen.
Selama ini, masyarakat berasumsi bahwa air tanah dalam yang ada di Jakarta berasal dari Bogor.
Tetapi berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jepang pada 2001-2005, asumsi tersebut terbukti salah. Air tanah yang selama ini diambil merupakan air yang tersimpan selama ribuan tahun dan tidak akan pernah terisi kembali.
d. Dampak Kesehatan
Dampak lain dari sulitnya mencari air bersih di
Jakarta adalah kualitas kesehatan yang tak semestinya. Hal ini disebabkan tidak
adanya sistem sanitasi yang baik sehingga hampir seluruh rumah tangga
menggunakan septic tank yang ditanam dalam tanah untuk menyimpan kotoran.
Apabila masyarakat
mengonsumsi air yang tidak memenuhi standar, dampaknya bisa dirasakan langsung
oleh setiap konsumen.
Konsumen menjadi sering sakit perut sehingga produktivitas berkurang. Hal ini disebabkan banyak pipa yang sudah tua sehingga perjalanan air ke konsumen terganggu dan tidak terjamin kebersihannya. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di kota-kota besar Indonesia lainnya.
Penyebab lain tidak higienisnya air minum di Jakarta adalah adanya bakteri coli (Escherichia coli) yang berasal dari kotoran manusia. Sekali lagi, hal ini disebabkan tidak adanya sistem sanitasi yang baik.
Hampir semua rumah tangga menggunakan septic tank yang ditanam di dalam tanah, bersanding dengan sumur. Inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya kasus penularan penyakit pencernaan dan tifus.
Konsumen menjadi sering sakit perut sehingga produktivitas berkurang. Hal ini disebabkan banyak pipa yang sudah tua sehingga perjalanan air ke konsumen terganggu dan tidak terjamin kebersihannya. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di kota-kota besar Indonesia lainnya.
Penyebab lain tidak higienisnya air minum di Jakarta adalah adanya bakteri coli (Escherichia coli) yang berasal dari kotoran manusia. Sekali lagi, hal ini disebabkan tidak adanya sistem sanitasi yang baik.
Hampir semua rumah tangga menggunakan septic tank yang ditanam di dalam tanah, bersanding dengan sumur. Inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya kasus penularan penyakit pencernaan dan tifus.
sumber : http://digilib-ampl.net
http://id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar