Senin, 09 Januari 2012

Illegal Logging


Dalam istilah kehutanan, logging adalah suatu aktivitas atau kegiatan penebangan kayu di dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh seseorang, kelompok ataupun atas nama perusahaan, berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah atau instansi yang berwenang (kehutanan) sesuai dengan prosedur tata cara penebangan yang diatur dalam peraturan perundangan kehutanan. Dengan demikian, logging atau penebangan dapat dibenarkan sepanjang, mempunyai izin, mengikuti prosedur penebangan yang benar berdasarkan aspek kelestarian lingkungan, dan mengikuti prosedur pemanfaatan dan peredaran hasil hutan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Sebaliknya ada peristilahan illegal logging yang merupakan antitesa dari istilah logging. Illegal berarti tidak didasari dengan peraturan perundangan atau dasar hukum positif yang telah ditentukan oleh pemerintah, dan berkonotasi “liar” serta mengandung konsekuensi melanggar hukum, karena mengambil atau memiliki sesuatu milik pihak lain, yang bukan haknya.

Penyebab Terjadinya Illegal Logging
Selama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan (Soekotjo, 2007). Illegal logging telah menjadi penyebab utama kerusakan hutan yang sangat parah. Bahkan lebih dari itu, penebangan haram ini telah melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara terorganisir serta sistematis. Kejahatan ini bukan hanya terjadi di kawasan produksi, melainkan juga sudah merambah ke kawasan lindung dan taman nasional.
Ada tiga jenis pembalakan illegal. Pertama, yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang, baik yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan jauh berada dari hutan yang tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Kedua, dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Ketiga dilakukan oleh orang-orang tertentu yang mengatasnamakan rakyat.
Persoalan illegal logging kini sudah menjadi fenomena umum yang berlangsung di mana-mana. Illegal logging bukan merupakan tindakan haram yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah menjadi pekerjaan keseharian. Fenomena illegal logging kini bukan lagi merupakan masalah kehutanan saja, melainkan persoalan multipihak yang dalam penyelesaiaanya pun membutuhkan banyak pihak terkait.
Akibat dari kerusakan hutan akan menimbulkan dampak-dampak negatif. Salah satunya bencana banjir dan kerusakan lingkungan itu sendiri. Kerusakan hutan umumnya akibat illegal logging (IL), sedangkan sebagian kecil sisanya karena untuk pemenuhan kebutuhan warga yang bermukim disekitar hutan. Untuk mengantisipasi perilaku masyarakat yang merusak hutan pemerintah daerah perlu mengambil langkah yang tepat.

UPAYA MENGATASI ILLEGAL LOGGING
Penanggulangan illegal logging tetap harus diupayakan hingga kegiatan illegal logging berhenti sama sekali sebelum habisnya sumber daya hutan dimana terdapat suatu kawasan hutan tetapi tidak terdapat pohon-pohon di dalamnya. Penanggulangan illegal logging dapat dilakukan melalui kombinasi dari upaya monitoring (deteksi), upaya pencegahan (preventif), dan upaya penanggulangan (represif).
1.  Deteksi terhadap adanya kegiatan penebangan liar
Kegiatan-kegiatan deteksi mungkin saat ini telah dilakukan, namun walaupun diketahui atau ada dugaan terjadi kegiatan illegal logging tindak lanjutnya tidak nyata. Meski demikian aksi untuk mendeteksi adanya illegal logging tetap harus terus dilakukan, namun harus ada komitmen untuk menindaklanjuti dengan proses penegakan hukum yang tegas dan nyata di lapangan. Kegiatan deteksi dapat dilakukan melalaui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
    • Deteksi secara makro, misalnya melalui potret udara sehingga diketahui adanya indikator penebangan liar seperti jalur logging, base camp, dsb.
    • Ground checking dan patroli
    • Inspeksi di tempat-tempat yang diduga terjadi penebangan liar
    • Deteksi di sepanjang jalur-jalur pengangkutan
    • Inspeksi di log pond IPKH
    • Inspeksi di lokasi Industri
    • Melakukan timber tracking
    • Menerima dan menindaklanjuti adanya informasi yang datang dari masyarakat
    • Pemeriksaan dokumen (ijin, angkutan dan laporan) perlu lebih intensif, terutama dokumen laporan dengan meneliti lebih seksama laporan-laporan yang mengandung kejanggalan-kejanggalan.
2.  Tindak prefentif untuk mencegah terjadinya illegal logging
Tindakan preventif merupakan tindakan yang berorientasi ke depan yang sifatnya strategis dan merupakan rencana aksi jangka menengah dan jangka panjang, namun harus dipandang sebagai tindakan yang mendesak untuk segera dilaksanakan. Kegiatan preventif dapat dilakukan melalui :
    • Pembangunan kelembagaan (capacity building) yang menyangkut perangkat lunak, perngkat keras dan SDM termasuk pemberian reward and punishment.
    • Pemberdayaan masyarakat seperti pemberian akses terhadap pemanfaatan sumber daya hutan agar masyarakat dapat ikut menjaga hutan dan merasa memiliki, termasuk pendekatan kepada pemerintah daerah untuk lebih bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan.
    • Pengembangan sosial ekonomi masyarakat seperti menciptakan pekerjaan dengan tingkat upah/ pendapatan yang melebihi upah menebang kayu liar : misalnya upah bekerja di kebun kelapa sawit diusahakan lebih tinggi/sama dengan menebang kayu liar, pemberian saham dan sebagainya.
    • Peningkatan dukungan sarana dan prasarana untuk menunjang profesionalisme SDM.
    • Pemberian insentif bagi masyarakat yang dapat memberikan informasi yang menjadikan pelaku dapat ditangkap.
    • Pengembangan program pemberdayaan masyarakat.
    • Melakukan seleksi yang lebih ketat dalam pengangkatan pejabat (fit and proper test).
    • Evaluasi dan review peraturan dan perundang-undangan.
    • Perbaikan mekanisme pelelangan kayu hasil tangkapan data temuan.
    • Relokasi fungsi kawasan hutan dengan lebih rasional.
    • Penegasan Penataan batas kawasan hutan.
    • Restrukturisasi industri pengolahan kayu, termasuk penghentian HPHH dan ijin HPH skala kecil.
3.  Tindakan supresi (represif)
Tindakan represif merupakan tindakan penegakan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai ke pengadilan. Untuk itu harus ada kesamaan persepsi antara masing-masing unsur penegak hukum yaitu penyidik (Polri dan PPNS), jaksa penuntut dan hakim. Karena besarnya permasalahan illegal logging, tindakan represif harus mampu menimbulkan efek jera sehingga pemberian sanksi hukum harus tepat.

              http://green.kompasiana.com

Minggu, 08 Januari 2012

Kebakaran Hutan di Indonesia


Penyebab Kebakaran

Mencari penyebab kebakaran hutan pada dasarnya mudah dan mudah pula menanggulanginya bila memang berkomitmen untuk itu. Hutan Indonesia hancur dan terbakar atau dibakar umumnya dilakukan para pengelola kehutanan di Indonesia, industri kehutanan sangat berpeluang menjadi penyebab kebakaran hutan. Untuk itu pemerintah Indonesia harus tegas menindak, menegakkan peraturan yang sudah ada. Sayang peraturan yang sudah ada sangat sulit dilaksanakan disebabkan terjadi negosiasi, kolusi dan korupsi di sana-sini.

Caranya mudah. Inventarisasi semua industri kehutanan, evaluasi kinerjanya, baik atau tidak. Bila tidak maka tidak ada istilah kompromi atau negosiasi, tindak tegas, cabut izin dan berikan hukuman. Menurut catatan atau data yang penulis miliki hampir semua perusahaan kehutanan yang memiliki Hak Pengelola Hutan (HPH), memiliki Hutan Tanaman Industri (HTI) melakukan kesalahan sehingga terjadi kebakaran hutan, baik di dalam HPH yang dikelolanya dan juga di dalam HTI yang dibangunnya.

Kebakaran hutan yang terjadi tidak hanya sekali, akan tetapi berkali-kali, berulang dengan luas ratusan hektar. Permasalahannya masyarakat awam tidak atau kurang mengetahuinya dan hal ini dimanfaatkan pihak tertentu sebagai regulator untuk "bermain mata" dengan para pengusaha. 

Artinya pengusaha dan penguasa berkolaborasi sehingga dalam setiap terjadi kebakaran hutan, yang ditampilkan selalu masyarakat sekitar hutan yang membuka lahan pertanian, masyarakat membuang puntung rokok sembarangan. Terasa aneh dan lucu, hutan yang terbakar (dibakar) ratusan hektar hanya gara-gara masyarakat membuang rokok sembarangan.


Pencegahan Kebakaran

Untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan di Indonesia, Kementerian Kehutanan fokus pada tiga sasaran/target utama yang dituangkan dalam rencana strategis pengendalian kebakaran hutan tahun 2010-2014, yaitu :
1. Peningkatan sistem pencegahan, pemadaman, dan penanggulangan dampak kebakaran lahan dan hutan.
2. Pengurangan luas kawasan hutan yang terbakar.
3. Peningkatan dukungan pemerintah dan masyarakat dalam upaya mengendalian kebakaran hutan. Target hingga tahun 2014 adalah pengurangan hotspot di pulau Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi hingga 20% tiap tahun dari rerata tahun 2005-2009, pengurangan luas kawasan hutan yang terbakar hingga 50% dalam waktu 5 tahun dibanding kondisi rata-rata tahun 2005-2009, dan peningkatan kapasitas SDM pemerintah dan masyarakat dalam usaha pengurangan resiko dan penanganan bahaya kebakaran hutan di 30 daerah operasi di 10 propinsi rawan kebakaran.

Dari data Kementerian Kehutanan, untuk tahun 2011, titik api yang terpantau berjumlah 1.490. Jumlah itu tersebar disejumlah provinsi. Di Sumaetra Utara 233 buah. Riau 1.033 buah. Jambi 255 buah. Sumatera Selatan 265 buah. Kalimantan Barat 450 buah. Kalimantan Tengah 244 buah. Kalimantan Selatan 55 buah. Kalimantan Timur 163 buah.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah menjalin kerjasama internasional bidang kebakaran hutan terkait komitmen Indonesia, penyegaran Manggala Agni di 44 lokasi, pembentukan 25 regu Manggala Agni, pelatihan Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis (SMART) untuk 510 orang, pembentukan 180 regu Masyarakat Peduli Api (MPA), kerjasama dengan TNI. Untuk memperkuat kelembagaan, akan diupayakan juga peningkatan status anggota Manggala Agni menjadi PNS serta peningkatan Daerah Operasi (Daops) menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT).

Selain itu, pemerintah Indonesia juga melakukan kerjasama teknik pengendalian kebakaran hutan dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) melalui proyek Programme of Community Development of Fires Control in Peat Land Area tahun 2010-2015 di kabupaten Kubu Raya dan Bengkayang, Kalimantan Barat, dan kabupaten Siak, Riau.

Untuk memperkuat Brigade Manggala Agni, diupayakan peningkatan peran masyarakat melalui pembentukan satuan Masyarakat Peduli Api (MPA). Hingga tahun 2009 telah terbentuk MPA yang beranggotakan sebanyak 5.157 orang. Jumlah Manggala Agni sendiri saat ini 1.590 orang (196 diantaranya anggota SMART) yang tersebar di 30 daops pada 9 Balai Besar dan balai KSDA serta taman nasional rawan kebakaran. 

                http://www.dephut.go.id
                http://www.analisadaily.com

Air Bersih di Kota Jakarta


Air bersih adalah salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari termasuk diantaranya adalah sanitasi.

a.         Sungai
Rata-rata lebih dari 40.000 kilometer kubik air segar diperoleh dari sungai-sungai di dunia. Ketersediaan ini (sepadan dengan lebih dari 7.000 meter kubik untuk setiap orang) sepintas terlihat cukup untuk menjamin persediaan yang cukup bagi setiap penduduk, tetapi kenyataannya air tersebut seringkali tersedia di tempat-tempat yang tidak tepat. Sebagai contoh air bersih di lembah sungai Amazon walupun ketersediaannya cukup, lokasinya membuat sumber air ini tidak ekonomis untuk mengekspor air ke tempat-tempat yang memerlukan.

b.         Curah hujan
Dalam pemanfaatan hujan sebagai sumber dari air bersih, individu perorangan/ berkelompok/ pemerintah biasanya membangun bendungan dan tandon air yang mahal untuk menyimpan air bersih di saat bulan-bulan musim kering dan untuk menekan kerusakan musibah banjir.

c.         Penurunan Tanah
Akibat tingginya harga air bersih serta cakupan layanan dan kualitas layanan PAM yang kurang, masyarakat beralih menggunakan air tanah. Sayangnya, untuk mendapat air tanah, masyarakat mengebor tanah sedalam-dalamnya sehingga permukaan air tanah turun.

Padahal selama ini pengeksploitasian air tanah dalam telah dilakukan terutama oleh industri, perhotelan, dan gedung-gedung perkantoran. Mereka menggunakan air tanah dalam jumlah sangat besar, menyebabkan penurunan permukaan tanah yang parah.

Penurunan permukaan tanah ini kemudian menambah potensi daerah genangan air, penurunan elevasi tanggul di daerah pantai, dan penurunan elevasi sistem drainase (makro dan mikro) sehingga mengurangi fungsi drainase kota serta penurunan fondasi bangunan dan jalan serta jembatan.
Semua ini berujung pada satu hal, yaitu bencana banjir.

Berdasarkan parameter perencanaan yang dibuat BR PAM DKI, pada 2015, batas maksimum pengambilan air tanah dalam adalah 20 persen. Tapi hal tersebut tentunya harus diiringi dengan cakupan layanan PAM yang mencapai 80 persen.

Selama ini, masyarakat berasumsi bahwa air tanah dalam yang ada di Jakarta berasal dari Bogor.

Tetapi berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jepang pada 2001-2005, asumsi tersebut terbukti salah. Air tanah yang selama ini diambil merupakan air yang tersimpan selama ribuan tahun dan tidak akan pernah terisi kembali.

d.         Dampak Kesehatan
Dampak lain dari sulitnya mencari air bersih di Jakarta adalah kualitas kesehatan yang tak semestinya. Hal ini disebabkan tidak adanya sistem sanitasi yang baik sehingga hampir seluruh rumah tangga menggunakan septic tank yang ditanam dalam tanah untuk menyimpan kotoran.

Apabila masyarakat mengonsumsi air yang tidak memenuhi standar, dampaknya bisa dirasakan langsung oleh setiap konsumen.

Konsumen menjadi sering sakit perut sehingga produktivitas berkurang.
Hal ini disebabkan banyak pipa yang sudah tua sehingga perjalanan air ke konsumen terganggu dan tidak terjamin kebersihannya. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di kota-kota besar Indonesia lainnya.

Penyebab lain tidak higienisnya air minum di Jakarta adalah adanya bakteri coli (Escherichia coli) yang berasal dari kotoran manusia. Sekali lagi, hal ini disebabkan tidak adanya sistem sanitasi yang baik.

Hampir semua rumah tangga menggunakan septic tank yang ditanam di dalam tanah, bersanding dengan sumur. Inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya kasus penularan penyakit pencernaan dan tifus
.

sumber : http://digilib-ampl.net
              http://id.wikipedia.org