Berikut
merupakan sari pemikiran yang dirangkum dari tulisan J. G. Merrills, “Regional
Organizations”, dalam bukunya, “International Dispute Settlement”,
Bab 11, Hal. 279-307 yang diterbitkan olehCambridge University Press di
New York, Amerika Serikat, pada tahun 2005. Pada bab ini, Merrills memusatkan
pembahasannya pada Organisasi Regional dan aspek-aspek yang berkaitan dengan
penyelesaian konflik regional, seperti; peran Organisasi Regional dalam
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara negara-negara anggotanya; batas
kemampuan Organisasi Regional dalam upaya penyelesaian sengketa; proses
ajudikasi; dan pola hubungan yang terbentuk antara Organisasi Regional dengan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya Dewan Keamanan.
Ruang
Lingkup Organisasi Regional
Peran
yang dimainkan oleh organisasi-organisasi regional sangat berbeda bergantung
pada karakteristik organisasi tersebut. Karakteristik ini dipengaruhi oleh
faktor geografis, ketersediaan sumber-sumber dan struktur organisasi. Perbedaan
faktor-faktor ini akan mempengaruhi bentuk Organisasi Regional dan organ-organ
yang menopangnya. Perbedaan karakter ini juga nantinya akan berpengaruh pada
mekanisme dan prosedur penyelesaian konflik yang ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa antara anggota dalam sebuah Organisasi Regional.
Uni
Eropa, Organisasi Regional paling maju saat ini, memiliki European
Court of Justice, organ khusus yang bertanggung jawab atas setiap upaya
penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota Uni Eropa, yang
yurisdiksinya mencakup seluruh negara anggota, organ-organ penting dalam
masyarakat dan warga negara sah dari negara-negara anggota. Hal ini dijelaskan
dalam the Treaty of Amsterdam (1997) yang mulai diberlakukan
pada tahun 1999.
Pakta
Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organisation –
NATO) yang didirikan pada tahun 1949 juga memiliki prosedur penyelesaian
konflik antara negara-negara anggotanya. Pada 1956, organ utama NATO, Dewan
Atlantik Utara, merumuskan suatu komitmen yang menggariskan bahwa, sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur negosiasi langsung harus
disampaikan dan dibahas dengan prosedur dan dalam forum NATO sebelum dibawa ke
organisasi internasional di luar NATO. Resolusi tersebut juga menyebutkan bahwa
Sekjen maupun negara-negara anggota memiliki hak dan kewajiban untuk meminta
perhatian dewan mengenai ancaman-ancaman yang dapat mempengaruhi solidaritas
dan efektifitas aliansi. Lebih lanjut, Sekjen diberikan wewenang sebagai
fasilitator yang dimandatkan untuk menyelenggarakan penyelidikan, mediasi, atau
arbitrasi bagi negara-negara anggota yang berkonflik.
Pakta
Warsawa yang didirikan oleh Uni Soviet dan meliputi sebagian besar Eropa Timur,
memiliki suatu wadah kerjasama ekonomi yang didirikan pada 1949, yaitu Council
for Mutual Economic Aid, namun tanpa sebuah organ penyelesaian sengketa.
Organisasi ini kemudian hancur seiring runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya
Perang Dingin dan digantikan olehCommonwealth of Independent States (CIS)
yang dipimpin oleh Federasi Rusia.
Banyak
Organisasi Regional lain yang masing-masingnya memiliki prosedur penyelesaian
sengketa tersendiri yang dirumuskan dengan berpedoman pada perjanjian yang
telah disepakati oleh negara-negara anggotanya, seperti; Conference on
Security and Cooperation in Europe(CSCE) yang kemudian berubah menjadi Organization
for Security and Cooperation in Europe (OSCE); Organization of
American States (OAS) dengan ketentuan penyelesaian konflik yang
tertuang jelas dalam Pakta Bogota; Organization of African Union (OAU);
dan Organization of the Islamic Conference (OIC), yang
masing-masingnya memiliki organ tersendiri dalam upaya penyelesaian sengketa
yang terjadi antara negara-negara anggotanya.
Peran Organisasi Regional Dalam Menyelesaikan Sengketa
Dalam
menyelesaikan sengketa internal kawasan, salah satu peran utama Organisasi
Regional adalah untuk menjadi wadah konsultasi, menyelenggarakan dan
menyediakan suatu forum negosiasi bagi negara-negara anggota baik dalam situasi
konflik maupun dalam kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik.
Peran
ini secara nyata dapat dilihat dalam Perang Cod, konflik batas perairan
Inggris-Islandia yang meletus pada 1961 dan 1976. Konflik pertama dapat
diredakan melalui negosiasi yang digagas oleh NATO. Konflik kedua berhasil
diselesaikan melalui Pertemuan Tahunan Menteri Luar Negeri Negara-Negara
Anggota NATO yang diselenggarakan di Oslo yang digagas oleh Menteri Luar Negeri
Norwegia bersama Sekjen NATO kala itu. Negosiasi ini berujung pada kesepakatan
kedua negara untuk mengakhiri pertikaian. Peran yang relatif sama juga tampak
pada sengketa perbatasan Aljazair-Maroko tahun 1963. Di sini, OAU membentuk
suatu komisi ad hoc dan menyelenggarakan beberapa pertemuan
yang diikuti oleh kedua negara yang bersengketa, bertujuan untuk membahas
masalah penarikan pasukan, pengembalian tawanan perang dan perbaikan hubungan
diplomatik.
Organisasi
Regional juga kadang berperan sebagai mediator dalam konflik-konflik internal
kawasan. Dengan wewenangnya, Organisasi Regional merancang sebuah prosedur
resolusi konflik untuk menyelesaikan perselisihan antara negara-negara anggota. Contohnya;
OAS yang bertindak sebagai mediator dalam sengketa Honduras-Nicaragua pada
tahun 1957 perihal keputusan arbitrase Raja Spanyol. Pasca pengaduan kedua
negara yang bersengketa, OAS menyelenggarakan sebuah pertemuan khusus dan
meminta kedua negara yang bersengketa untuk menghentikan tindakan-tindakan
provokatif yang dapat mempertajam konflik. OAS kemudian membentuk sebuah komite
yang terdiri dari perwakilan lima negara anggota yang bertugas untuk
mempelajari sengketa tersebut. Komite ini kemudian mengunjungi kedua negara dan
meminta kedua negara untuk menandatangani kesepakatan genjatan senjata dan
penarikan pasukan masing-masing. Komite kemudian juga ditugaskan untuk
merumuskan prosedur resolusi konflik untuk menyelesaikan sengketa ini. Walaupun
pada akhirnya usaha ini terbukti gagal, namun upaya mediasi yang dilakukan OAS
berhasil meredakan ketegangan yang ada. Upaya mediasi juga dilakukan oleh
CSCE/OSCE dalam sengketa wilayah Dneister pada tahun 1993. Di sini, CSCE
sebagai mediator, menetapkan otonomi bagi Dneister di bawah otoritas pemerintah
Moldova dan penarikan pasukan Rusia dari wilayah ini. Pada prakteknya, proses
mediasi oleh Organisasi Regional dapat didelegasikan kepada pihak-pihak
tertentu yang dianggap mampu. Seperti dalam sengketa Tanzania-Uganda tahun
1972, di mana Kepala Negara Somalia diberi mandat sebagai mediator dengan
didampingi oleh Sekjen OAU.
Organisasi
regional juga dapat melakukan penyelidikan terhadap konflik yang terjadi antara
negara-negara anggotanya. Nantinya, hasil penyelidikan ini akan digunakan untuk
merumuskan resolusi konflik yang dianggap paling efektif untuk diterapkan. Misalnya
pada sengketa perbatasan Bolivia-Paraguay tahun 1929. Penyelidikan dilakukan
oleh The Chaco Commission yang dibentuk oleh Conference
of American States atas mandat yang diberikan oleh OAS. Contoh lain, Inter-American
Commission, yang ditugaskan untuk menyelidiki penyebab sengketa
Haiti-Republik Dominika tahun 1937.
Pengiriman
Pasukan Penjaga Perdamaian merupakan peran lain yang juga dimainkan oleh
Organisasi Regional. Beberapa contoh kasus; pengiriman pasukan penjaga
keamanan CIS di Georgia pada masa kekosongan pemerintah sipil tahun 1994;
dikirimnya pasukan penjaga perdamaian ECOWAS yang didukung oleh Dewan Keamanan
PBB di Sierra Leone (1997), Ivory Coast (2003), dan Liberia (2003); operasi
penjaga perdamaian yang dilakukan oleh CEMAC pada tahun 2002 menggantikan
pasukan CEN-SAD yang telah berada di sana sejak 2001; pasukan penjaga
perdamaian yang dikirim oleh OAU ke Darfur, bagian barat Sudan, untuk
mendampingi peneliti-peneliti Uni Afrika yang berada di sana.
Batas Kemampuan Organisasi Regional
Keterikatan
Organisasi Regional pada batas-batas geografis kawasan melemahkan kemampuannya
untuk menyelesaikan konflik intra-regional hingga ke titik terendah. Dalam
bahasa sederhana, Organisasi Regional bukan pilihan yang tepat untuk meredakan
konflik yang terjadi antara negara anggotanya dengan negara anggota Organisasi
Regional lain.
Faktanya,
dalam konflik-konflik seperti ini, kehadiran Organisasi Regional cenderung
mempertajam konflik yang ada. Konflik Argentina- Inggris dalam sengketa
Falklands adalah contoh nyata dari kelemahan ini. Dalam kasus ini, kedua pihak
yang bertikai justru memanfaatkan keanggotaan mereka untuk memobilisasi
kekuatan dan mencari dukungan. Pada akhirnya, konflik ini harus diselesaikan
oleh PBB.
Organisasi
Regional tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam konflik domestik
negara-negara anggotanya, konflik seperti; revolusi, perang sipil, dan
peristiwa merusak lainnya. Mereka tidak memiliki yurisdiksi untuk itu, mereka
dirancang untuk mengatur dan menjembatani hubungan antara negara-negara
anggotanya, bukan mencampuri urusan internal negara-negara anggotanya.
Hal
ini akan sangat berpengaruh apabila konflik internal tersebut menyebar hingga
ke negara tetangga dan pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan kawasan.
Dapat dilihat, Ketidakmampuan dan keengganan Organisasi Regional untuk terlibat
dalam urusan-urusan domestik negara anggota pada akhirnya akan membahayakan
eksistensi Organisasi Regional itu sendiri.
Loyalitas
dan solidaritas negara anggota yang sangat dipengaruhi oleh hubungan antar
negara, kepentingan nasional dan kesamaan atau perbedaan latar belakang budaya
dalam sebuah Organisasi Regional seringkali menghalangi upaya penyelesaian
sengketa yang ditangani oleh Organisasi Regional tersebut.
Memang,
dalam perjanjian kerjasama mereka, hubungan negara-negara anggota terlihat kuat
dan solid. Namun pada prakteknya, kesatuan yang ada antara mereka tidak sekokoh
seperti yang tertuang dalam konstitusi mereka. Dalam kasus Falklands,
negara-negara anggota OAS yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
nasionalnya, lebih mendukung Inggris daripada Argentina, yang pada akhirnya menghancurkan
kebulatan suara organisasi tersebut. Kasus lain, perbedaan latar belakang
budaya -dalam hal ini, ideologi- menyebabkan dihentikannya Pertemuan Tahunan
Dewan OAU tahun 1982. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tajam yang ada antara
negara-negara anggota berhaluan moderat dengan negara-negara anggota berhaluan
radikal.
Minimnya
dana dan keterbatasan sumberdaya Organisasi Regional menyebabkan Organisasi
Regional menjadi sangat bergantung pada sumberdaya yang dimiliki oleh negara
anggota dalam setiap upaya penyelesaian konflik.
Hal
ini jelas akan membatasi peran dan ruang gerak Organisasi Regional tersebut.
Contoh nyata dari kasus ini adalah kegagalan pasukan penjaga perdamaian OAU
yang dikirim ke Chad pada tahun 1982, di mana kekurangan logistik dan finansial
merupakan salah satu faktor utama kegagalan misi tersebut.
Organisasi Regional dan Ajudikasi
Ajudikasi
adalah proses pengajuan penyelesaian sengketa antara dua negara yang tidak
mampu diredakan oleh prosedur resolusi konflik yang dirumuskan oleh Organisasi
Regional ke lembaga peradilan yang lebih tinggi seperti Mahkamah internasional
(International Court of Justice). Hal ini didasarkan pada Piagam PBB,
Bab VI: mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Damai, Bab VIII: mengenai
Kerjasama Regional, dan Bab XIV: mengenai Mahkamah Internasional. Proses
ajudikasi hanya dapat dilakukan apabila pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk
mengajukan sengketa mereka ke lembaga peradilan yang lebih tinggi, dan tidak
terdapat pelanggaran terhadap isi dari regulasi regional, perjanjian regional
atau prosedur regional yang telah disepakati bersama.
Proses
di atas dapat dilihat dari sengketa Honduras-Nicaragua dalam kasusBorder and
Transborder Armed tahun 1988. Kasus ini dibawa ke Mahkamah
Internasional oleh Nikaragua, yang menuduh bahwa Honduras memberi ruang bagi
kelompok bersenjata untuk beroperasi di wilayah mereka. Sebelum menyentuh kasus
ini, Mahkamah Internasional terlebih dahulu meninjau apakah pengajuan sengketa
bertentangan dengan prosedur regional yang ada, mendengarkan pendapat
negara-negara anggota yang keberatan dengan pengajuan tersebut, selanjutnya
meminta persetujuan Honduras atas sengketa yang diajukan oleh Nicaragua, untuk
kemudian diselesaikan. Kasus lain yang juga berkaitan yaitu sengketa
Kamerun-Nigeria dalam kasus The Land and Maritime Boundary, Kasus
ini dibawa ke Mahkamah Internasional oleh Kamerun. Di sini, Mahkamah
Internasional sekali lagi harus mempertimbangkan peran prosedur regional dalam
sengketa teritotial dan persetujuan kedua belah pihak yang bertikai sebelum
memulai proses penyelesaian konflik secara damai.
Dalam
kaitannya dengan ajudikasi, Organisasi Regional dapat memberikan dukungan bagi
berjalannya proses ajudikasi, yaitu dengan memberikan tekanan dan membujuk
pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur
ajudikasi, kemudian mendorong pihak-pihak yang bertikai untuk melaksanakan
keputusan yang telah ditetapkan bagi mereka, atau membantu mereka untuk
melaksanakannya. Hubungan ini
diilustrasikan dengan baik melalui sengketa Honduras-Nicaragua pada tahun 1957
perihal keputusan arbitrase Raja Spanyol. Dalam kasus ini, OAS menjalankan
fungsinya dengan membujuk Honduras dan Nikaragua untuk mengajukan sengketa
mereka ke Mahkamah Internasional, kemudian, saat Mahkamah Internasional telah
mengeluarkan keputusan, OAS membantu mereka melaksanakan putusan tersebut.
Organisasi Regional dan PBB
Dalam
Piagam PBB, masalah kerjasama regional dijelaskan dalam Bab VIII, Piagam PBB,
Pasal. 52-54, yang secara umum menyebutkan bahwa tidak ada penolakan dari PBB
bagi eksistensi Organisasi Regional, sejauh Organisasi Regional tersebut dapat
menciptakan, menjaga dan memelihara keamanan dan perdamaian dunia khususnya di
tingkat regional sesuai dengan apa yang tertuang dalam Bab I, Piagam PBB,
Pasal. 1-2, serta berupaya penuh untuk menerapkan prinsip-prinsip yang tertuang
dalam Bab VI, Piagam PBB, Pasal. 33-38, dengan bantuan Dewan Keamanan. Dalam
bab yang sama, wewenang Organisasi Regional dibatasi, seperti dijelaskan dalam
Bab VIII, Pasal. 53, yang menyatakan bahwa ‘tidak ada pengambilan tindakan yang
boleh dilakukan di bawah kesepakatan regional atau oleh badan regional tanpa
otorisasi Dewan Keamanan’.
Akan
tetapi pada masa Perang Dingin, tugas Organisasi Regional sebagai perpanjangan
tangan dewan keamanan tidak berjalan efektif disebabkan oleh pertentangan dua
negara adidaya yang saling menerapkan prinsipself-serving dalam
menafsirkan ketentuan-ketentuan di atas. Dua negara ini memanfaatkan Organisasi
Regional sebagai basis penyebaran pengaruh mereka. Ini dibenarkan oleh Sekjen
PBB Boutros-Boutros Ghali melalui laporannya dihadapan Dewan Keamanan Pada
tahun 1992 yang berjudulAn Agenda for Peace. Ia menyebutkan bahwa,
’Perang Dingin mengganggu penerapan Bab VIII piagam PBB, dan bahwa di era
tersebut kerjasama regional tidak mampu melakukan upaya penyelesaian sengketa
dengan cara yang telah diatur dalam Piagam.’
Namun
dengan berlalunya Perang Dingin, kemungkinan kerjasama antara Organisasi
Regional dengan PBB kembali terbuka. Dorongan ini timbul dari argumen Sekjen
yang menyebutkan bahwa badan-badan regional memiliki potensi yang dapat
dimanfaatkan dalam pemenuhan fungsi pemeliharaan keamanan seperti yang tertuang
dalam An Agenda for Peace. Antara lain; diplomasi preventif,
pengiriman pasukan penjaga perdamaian, rekonsiliasi pasca-konflik dan pembangunan.
Sebagaimana
telah diindikasikan oleh Sekjen, kerjasama antara Organisasi Regional dan PBB
sangat bermanfaat terutama dalam situasi yang membutuhkan pasukan penjaga
perdamaian atau aksi serupa. Sejumlah kasus menunjukkan bagaimana dua lembaga
ini dapat melakukan fungsi yang saling melengkapi. Misalnya; Pengiriman pasukan
PBB (ONUCA) oleh Dewan Keamanan saat proses Contadora berlangsung
di Amerika Tengah; dukungan yang diberikan oleh PBB kepada Pasukan Penjaga
Perdamaian yang dikirim oleh ECOWAS dalam krisis Liberia; dan koordinasi antara
pasukan CIS dengan Tim Pemantau PBB yang diawasi oleh Dewan Keamanan di
Georgia; serta dukungan PBB kepada OAS dalam penyelesaian sengketa Haiti.
Beberapa
tahun terakhir, Kerjasama antara PBB dan Organisasi Regional menjadi semakin
luas dengan banyaknya resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan. Namun di
sisi lain, meskipun kerjasama ini sangat berharga, keterlibatan Dewan Keamanan
hanya akan diperlukan jika langkah-langkah regional tidak memadai. Organisasi
Regional, seperti yang telah dilihat, kadang memberikan konstribusi kostruktif
terhadap penyelesaian sengketa tanpa bantuan dari luar. Mendorong organisasi
regional untuk menggunakan sumber daya mereka sendiri memungkinkan PBB untuk
memusatkan perhatiannya pada sengketa-sengketa intra-regional, dan dengan
demikian tercipta suatu divisi kerja yang bermanfaat. Stigma bahwa Dewan
Keamanan harus selalu terlibat, sebaliknya, akan cenderung menghambat tugas dan
mengecilkan tanggung jawab Organisasi Regional.
Sumber : http://zeincom.wordpress.com/2011/10/22/onosori/
Sumber : http://zeincom.wordpress.com/2011/10/22/onosori/